The Priest Wants to Retire
- Chapter 12

Itu pasti halusinasi.
Kecemasan cenderung membesar-besarkan suara-suara kecil secara tidak proporsional, mengubahnya menjadi ilusi.
Seperti bagaimana orang-orang yang memiliki sifat sensitif terkadang salah mengira suara tetesan air dari keran sebagai suara langkah kaki seseorang.
Dalam kasus ini, kemungkinan sama.
Faktanya, bibir kecil Saintess itu tidak bergerak sama sekali, dan kata-kata yang menusuk hatiku membawa firasat yang mengerikan sehingga sulit dipercaya bahwa kata-kata itu berasal dari orang yang masih hidup. Hal-hal ini membuat hipotesis halusinasi cukup meyakinkan.
“Saintess…?”
Aku berusaha melihat ekspresinya, tetapi usahaku gagal karena dia dengan cepat membenamkan wajahnya di leherku, sebuah gerakan lincah secepat anak panah.
Dan kemudian, segera setelahnya—
Menggigit.
"Aduh!"
Dia menggigit tulang selangkaku.
Rasanya wajahku menegang, seolah disuntik racun yang mematikan. Tubuhku mengingat perilaku ini—ini terjadi saat Sang Saintess sedang marah.
Tiba-tiba, aku merasa seperti déjà vu.
Sebuah kenangan muncul kembali: pertama kali aku ditusuk dengan pisau.
Logam itu terasa dingin sekali saat pertama kali menusuk daging dan tulangku, tetapi segera menjadi sangat panas, seolah-olah ditempa di tempat penempaan. Kemudian, sensasi seperti organ dalamku sedang dihisap ke arah sumber panas itu menyelimutiku.
Berapa kali aku mencoba menghapus perasaan mengerikan itu dari pikiranku?
Saat kekuatan terkuras dari jari kaki, lutut, inti tubuh, dan pinggang aku, suara di sekitar menjadi teredam seolah-olah aku berada di bawah air. Pikiran aku membeku.
Ketika akhirnya aku merasakan kantuk yang memikat membebani kelopak mataku di tengah rasa sakit yang mengamuk…
Aku ingat berpikir, “Ah, kurasa aku tidak akan berhasil.”
Tidak ada lagi yang dapat aku pikirkan saat itu.
Intensitasnya mungkin berbeda, tetapi perasaannya sekarang sangat mirip.
Gigi putih Sang Saintess itu menjepit dagingku, seakan ingin meraih tulang-tulangku, mengungkap mimpi buruk mengerikan yang terpendam jauh di dalam diriku.
“Bohong… bohong…”
Sumber kata-kata yang menusuk hatiku menjadi jelas.
Itu bukan halusinasi, tetapi suaranya juga tidak terdengar.
Itu lebih seperti getaran.
Resonansi yang hening dan meresahkan, yang maknanya tersampaikan langsung ke pikiranku, bergema terus-menerus di dalam diriku.
“Kebohongan itu buruk. Aku benci kebohongan. Jangan pergi. Tetaplah di sini. Tetaplah bersamaku. Tetaplah bersamaku.”
Sebelum satu kalimat bisa selesai, kalimat lain tumpang tindih, membuatnya sulit memahami makna lengkap setiap kata.
“Bohong? Tidak! Saintess! Aku benar-benar—uh!”
Tidak ada alasan yang diizinkan.
Arus putih mengalir dari ujung jari tangan dan kaki aku, mengalir deras ke jantung aku. Rasanya mereka memberi tahu aku untuk tidak repot-repot mencari alasan.
Rasanya seperti seluruh aliran darahku didinginkan, lalu dididihkan berulang-ulang.
Aku pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Berkat dari Sang Saintess.
Kekuatan tertinggi yang dikatakan hanya dipercayakan pada segelintir gadis saleh, diduga sebagai kekuatan yang digunakan Sang Saintess untuk mengubah Robel ke kondisi itu.
Kecurigaan yang tidak mengenakkan yang menggantung bagai kabut perlahan mulai terbentuk dan aku menggigil ketakutan.
Saintess… jangan bilang padaku…
“Kamu tidak bisa pergi…”
Bayangan menyedihkan Robel Light muncul di pikiranku.
Seseorang yang telah kehilangan jiwanya.
Boneka kosong yang tidak dapat berjalan sendiri kecuali ada yang menarik talinya.
Melihatnya mempercepat pikiranku menuju suatu kesimpulan yang suram.
Aku teringat sesuatu yang lain: pemandangan seorang anak memohon mainan kepada orang tuanya, dan keras kepala menolak melepaskannya.
Itu sangat mirip dengan apa yang dilakukan Sang Saintess sekarang.
“Selamanya… Tetaplah di sini bersamaku… selamanya.”
Kata-katanya yang menyimpang tampaknya berasal dari emosi yang menyimpang.
Aku menyadari bahwa aku kehilangan semua perasaan di bawah pinggangku saat mendengar kata-kata itu.
“Kh…!”
Gedebuk.
Kakiku tak berdaya dan aku terjatuh ke lantai.
Namun Sang Saintess tetap menempel erat pada tubuhku dengan sekuat tenaganya.
Panas yang tak menyenangkan yang berpindah melalui kontak kulit kami, aroma yang menggelitik hidungku, dan getaran bulu matanya yang halus saat napasku yang terengah-engah membuatnya bergetar—semua sensasi ini memenuhi pikiranku.
Meski mendesak, bahkan saat nyawa aku mungkin menjadi taruhannya, kesadaran diri aku yang malang menolak untuk mengabaikan hal-hal ini.
Begitulah cantiknya, mulianya, dan sucinya dia.
Aku mendapati diriku sendiri berharap sayalah yang ditikam.
Setidaknya potongan logam jelek itu dapat diblokir, ditarik keluar, atau dipatahkan.
Apakah ini akhirnya?
Saat sisa keinginan terakhir untuk mempertahankan kesadaranku yang memudar mulai padam seperti lilin yang tertiup angin…
"Ayah!"
Tiba-tiba, sebuah suara yang familiar bergema di pikiranku, disertai dengan sebuah pikiran sekilas:
Bagaimana "dia" akan menangani situasi ini? Itu adalah pertimbangan yang sepele, namun terlintas di benak aku.
Selalu terlalu positif, sembrono, dan tidak pernah menoleransi ketidakadilan—
Dia seperti “keadilan” itu sendiri, yang berwujud dalam bentuk yang hidup dan berjalan.
Kalau dia menghadapi cobaan yang tidak dapat diatasi, akankah dia bertindak menyedihkan dan lemah seperti aku sekarang, menyerah dan mengambil jalan keluar yang mudah?
Hah.
Aku tertawa terbahak-bahak.
Itu adalah pikiran yang sungguh tidak masuk akal hingga aku tidak bisa menahan tawa.
Tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin.
Bahkan jika langit terbelah dua, bahkan jika dunia diselimuti kegelapan total—
Dia, dan hanya dia, tidak akan pernah menyerah pada tindakan bodoh berjalan menuju cahaya.
“Welna… biarkan aku pergi…”
"TIDAK…"
Aku menggigit bibirku, memaksa diriku untuk tetap sadar.
Dalam keadaan normal, aku akan menganggap upaya seperti itu terlalu melelahkan dan menyedihkan. Ini adalah langkah yang nekat.
Bukan karena aku masih punya penyesalan. Bukan karena aku, seperti tokoh utama dalam cerita lain, tiba-tiba dipenuhi keberanian dan kekuatan.
Itu hanya tindakan kekaguman yang menyedihkan—keinginan untuk meniru kekuatan yang pernah ia tunjukkan padaku.
“Kakakmu menyuruhmu untuk melepaskannya.”
“Tidak… tidak…”
“Lepaskan aku sebelum aku mengatakan sesuatu yang lebih buruk.”
“A-Apa…?”
Aku, Regis Lowville, 29 tahun.
Aku akan memarahi seorang anak untuk pertama kali dalam hidupku.
Bahasa Indonesia: ◈◈◈
Di kota pedesaan yang sederhana, tidak ada yang lebih menggetarkan hati seorang anak daripada menyaksikan parade pahlawan, yang disertai sorak sorai warga.
Suara terompet yang bergema dan kelopak bunga yang berjatuhan seperti salju yang berserakan menambah warna dan kehidupan pada jalanan yang kelabu dan remang-remang.
Bahkan mereka yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pun tidak dapat menahan diri untuk membiarkan anak-anaknya pergi menonton pawai daripada memarahi kekanak-kanakan mereka.
Namun kegembiraan dan antusiasme yang meningkat kadang-kadang menimbulkan masalah yang tidak terduga.
"Aaaah!"
Sorak sorai dan teriakan memecah keriuhan penonton.
Kereta yang setengah hancur dengan satu roda terlepas dari rel.
Di tengah jalan, berdiri seorang gadis muda yang hampir tidak bisa berjalan sendiri.
Bahkan sekilas, sudah jelas apa yang terjadi. Kereta itu berusaha menghindari anak yang tiba-tiba muncul di jalannya.
"Dasar bocah malang!"
Wajah prajurit yang memimpin prosesi itu menjadi gelap.
Atau lebih tepatnya, ia memucat.
Seperti seekor kelinci yang menghadapi pemangsa, anak itu menggigil ketakutan saat prajurit itu mengangkat pedangnya yang berkilau.
Itu adalah pemandangan yang sangat menyedihkan, siapa pun yang memiliki darah hangat mengalir di nadinya akan tersentuh oleh rasa iba.
Namun, tidak ada seorang pun di antara kerumunan itu yang berani membela anak yang terancam bahaya itu.
“Beraninya kau mengganggu pawai suci sang pahlawan! Dan merusak kereta yang membawa patung sang pahlawan?! Kejahatanmu begitu keji, kau harus membayarnya dengan nyawamu!”
“H-Hik!”
Wajah gadis itu makin gelap ketika suara prajurit itu makin keras.
Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Dalam benaknya yang masih kanak-kanak, dia hanya bisa merasakan samar-samar bahwa ada sesuatu yang salah.
Tubuhnya otomatis meringkuk ketakutan, tetapi semua orang yang melihat tahu bahwa pertahanan yang lemah itu tidak akan mampu menghentikan pedang prajurit itu yang mengancam.
"Milikku!"
Saat itulah seorang anak laki-laki, kemungkinan kakak laki-laki gadis itu, berlari ke depan untuk menghalangi tentara itu.
“A-aku minta maaf! Tuan! Aku sungguh-sungguh minta maaf atas kesalahan adikku! Aku akan bekerja keras seumur hidupku untuk membayar ganti rugi! Ku-kumohon! Tolong tunjukkan belas kasihan!”
Mengenakan pakaian lusuh dan wajah kotor, bocah itu berlutut tanpa ragu-ragu. Dari penampilannya yang menyedihkan, prajurit itu menyadari statusnya yang buruk dan berteriak dengan semangat baru.
“Kau akan membayarnya dengan nyawamu? Ha! Mungkin jika hanya kereta kudanya! Tapi adik perempuanmu telah merusak patung yang dibuat oleh keluarga kerajaan untuk menghormati jasa besar sang pahlawan! Kau bahkan tidak akan sanggup membayar sebagian kecil biayanya, tidak peduli seberapa lama kau bekerja!”
“Huk! A-aku m-maaf! Aku minta maaf!”
Prajurit itu mencengkeram kerah baju bocah itu, tetapi permintaan maafnya yang putus asa hanya semakin memancing amarah prajurit itu.
Permohonan orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dan harta, tidak ada nilainya.
Namun, anak laki-laki itu tidak dapat berbuat apa-apa selain terus mengulang-ulang perkataannya.
Mungkin dia bisa dimaafkan. Mungkin ada yang mau membantu mereka.
Berpegang teguh pada harapan samar itu adalah satu-satunya cara yang dapat dipikirkannya untuk melindungi adik perempuannya.
Maka, anak lelaki itu pun meneruskan doanya yang menyedihkan dan diabaikan.
“Semua ini salahku! Aku akan bertanggung jawab dengan nyawaku karena telah mencoreng kehormatan sang pahlawan! Kumohon! Ampunilah adikku!”
“Diam! Beraninya seorang petani rendahan mencoba menuntutku!”
Prajurit itu mengangkat pedangnya tinggi ke udara seolah hendak menepis permohonan anak itu.
"Eksekusi!"
"Aduh!"
Karena tidak tahan melihat pemandangan itu, anak lelaki itu pun memejamkan matanya.
Namun yang sampai ke telinganya bukanlah suara bilah pedang.
—
Tetapi apa yang sampai ke telinganya bukanlah suara bilah pisau yang mengiris udara.
“Pukulan Pahlawan─!!!”
Teriakan agung dan gagah berani itu bergema di udara, diikuti oleh suara sesuatu yang besar jatuh ke tanah.
Anak lelaki itu ragu-ragu, dengan takut membuka matanya terhadap pemandangan yang tak dapat dipercaya.
Prajurit yang baru saja mengangkat pedangnya untuk menyerang kini tergeletak di tanah, pedangnya patah berkeping-keping di sampingnya.
Berdiri di hadapan prajurit yang terjatuh itu adalah sosok yang selama ini hanya didengar anak itu dari cerita-cerita.
Dengan rambut perak panjang yang berkilau seperti debu bintang, dan mengenakan baju besi yang berkilau di bawah sinar matahari, berdirilah sosok yang memancarkan aura tak terkalahkan.
Tidak salah lagi.
Itu pahlawannya.
Orang yang membuat seluruh kota berkumpul untuk menghormatinya.
"Beranikah kau mengarahkan pedangmu pada seorang anak di hadapanku?" Suara sang pahlawan rendah dan dingin, membuat kerumunan merinding.
Prajurit itu, yang telah tersungkur ke tanah, berusaha berdiri, wajahnya pucat karena ketakutan. “A-aku tidak bermaksud begitu! M-Maafkan aku!”
Sang pahlawan mengabaikan permohonan prajurit itu dan berbalik ke arah anak-anak.
Dengan senyum yang hangat dan lembut, dia membungkuk dan mengulurkan tangannya kepada gadis yang masih berjongkok di tanah, gemetar ketakutan.
“Kamu baik-baik saja, Nak? Tidak perlu takut lagi.”
Gadis itu mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca, dengan ragu-ragu meraih tangan sang pahlawan yang terulur.
Saat sang pahlawan membantu gadis itu berdiri, penonton pun bersorak.
“Hidup sang pahlawan!”
“Terima kasih, pahlawan!”
“Kemuliaan bagi sang pahlawan!”
Anak laki-laki itu, yang masih dalam keadaan terkejut, menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak. Ia tidak percaya apa yang sedang terjadi.
Dia sudah siap mati untuk menyelamatkan saudara perempuannya, dan sekarang sang pahlawan hadir di hadapan mereka.
Sang pahlawan menoleh ke arah anak laki-laki itu dan mengangguk. “Kau melakukannya dengan baik, melindungi adikmu. Kau pemberani.”
Anak laki-laki itu merasa ada yang mengganjal di tenggorokannya, tidak dapat berbicara. Ia hanya mengangguk, air mata mengalir di matanya.
Sang pahlawan kemudian berdiri tegak, menghadap ke khalayak, kehadirannya menimbulkan keheningan.
“Ini adalah pengingat bagi semua orang,” ungkapnya. “Tidak peduli siapa Kamu atau dari mana Kamu berasal, setiap kehidupan itu berharga. Kita harus melindungi mereka yang tidak dapat melindungi diri mereka sendiri.”
Kerumunan terdiam, menyerap kata-kata sang pahlawan.
Setelah itu, sang pahlawan kembali ke anak-anak dan tersenyum lembut. “Sekarang, mari kita bawa kalian berdua ke tempat yang aman.”
Anak laki-laki itu dan saudara perempuannya mengangguk, masih kagum akan kebaikan dan kekuatan sang pahlawan.
Saat mereka mengikutinya, anak laki-laki itu tidak dapat menahan diri untuk berpikir bahwa ia baru saja menyaksikan sebuah mukjizat yang nyata.
—
Beli Coin
Mau baca lebih dulu? Belilah Coin. Dengan Coin kamu bisa membuka Chapter Terkunci!
Beli CoinBerlangganan Membership
Mau membuka Chapter terkunci dan menghilangkan Iklan? Berlanggananlah Membership.Dengan Berlangganan Membershi kamu bisa membuka semua Chapter terkunci dan menghilangkan iklan yang mengganggu!
Berlangganan MembershipJangan ada spoiler dan berkata kasar!
Komentar